Thursday 30 December 2010

Sistem Peradilan Islam


SISTEM PERADILAN DALAM ISLAM

Pendahuluan

Pada 1400 terakhir sejarah negara Islam, dikenal dengan administrasi peradilannya, dan kemampuannya melindungi hak-hak rakyat dan hal inilah yang sangat berbeda dengan seluruh aspek kehidupan bangsa lainnya baik secara pribadi maupun politik.

Ada 2 orang yang bertanggung jawab dalam mengimplementasikan Islam dalam berbagai hal yakni: Khalifah dan Qadhi (hakim). Khalifah menjalankan hukum-hukum Islam dan menerapkannya kepada seluruh rakyat, sedangkan hakim mengambil putusan-putusan secara Islami untuk kondisi-kondisi yang berbeda berdasarkan sumber-sumber (seperti Al-Qur`an, As Sunnah dan segala sesuatu yang berasal dari keduannya) dan menggunakannya. Karena itu peradilan merupakan salah satu pilar yang fundamental dalam negara Islam dan diatas hal inilah sistem pemerintahan disandarkan sebagai bagian Implementasi Islam dalam kehidupan politik. Dalam negara Islam telah ada sebuah peradilan yang senantiasa menjalankan keadilan dan menghukum siapa saja yang patut dihukum ditengah-tengah masyarakat untuk memastikan bahwa Islam telah ditaati secara terus-menerus. Sistem peradilan ini tidak ada yang bertentangan dengan Islam malah ia berasal dari aqidah Islam dan membentuk satu kesatuan yang padu dalam pandangan hidup Islam, ditambah dengan Sistem Islam yang lain seperti Sistem Ekonomi (Iqtisad), dan ritual (ibadah) yang saling menyempurnakan satu sama lain.

Tujuan Peradilan

Dasar dibentuknya Peradilan memiliki 3 prinsip yaitu:
1.Bahwa penerapan hukum-hukum Islam dalam setiap kondisi adalah wajib.
2.Bahwa dilarang mengikuti syari’ah lain selain Islam.
3.Syari’ah selain Islam adalah kufur dan batil (taghut).

Dengan kerangka seperti ini, sistem Peradilan Negara Islam dijalankan dan Berdasarkan pemahaman ini maka definisi Peradilan dibangun berdasarkan syari’ah sehingga definisi dan tujuan Peradilan adalah memberikan putusan-putusan yang sah untuk menetapkan berbagai pendapat yang muncul terhadap hukum Allah dalam berbagai situasi, dengan kewenangan untuk memaksa mereka.

Bukti keabsahan Peradilan

Landasan Sistem Peradilan dan hukum-hukumnya berasal dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Mengenai Al-Qur`an, Allah SWT Berfirman dalam beberapa surat , diantaranya dalam QS. 4:105 dan QS. 5:48. Ayat-ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa adalah sah untuk menghukumi antar manusia dan bahkan wajib melaksanakan hal tersebut, yaitu dengan hanya merujuk kepada sistem Allah SWT. Mengenai As-Sunnah, Rosululloh SAW sendiri memimpin Sistem Peradilan ini dan beliaulah yang menghukumi umat. Muslim menceritakan hal yang disampaikan Aisyah (ra), istri Rosululloh SAW bahwa beliau berkata, Sa’ad Ibn Abi Waqqash dan Abd Zama’a berselisih satu sama lain mengenai seorang anak laki-laki. Sa’ad berkata: “Rosululloh SAW, adalah anak dari saudaraku Utbah Ibn Abi Waqqash yang secara implisit dia menganggap sebagai anaknya. Lihatlah kemiripan wajahnya.”. Abd Ibn Zama’a berkata: “Rosululloh, dia adalah saudaraku karena dia lahir diatas tempat tidur ayahku dari hamba sahayanya. Rosululloh lalu melihat persamaan itu dan beliau mendapati kemiripan yang jelas dengan Utbah. Tapi beliau bersabda, “Dia adalah milikmu wahai Abd Ibn Zama’a, karena seorang anak akan dihubungkan dengan seseorang yang pada tempat tidurnya ia dilahirkan, dan hukum rajam itu adalah untuk pezina.” Hal ini membuktikan bahwa Rosululloh SAW menghukumi umat dan bahwa keputusannya memiliki otoritas untuk dilaksanakan.

Bukti-bukti lain tentang Peradilan dalam As Sunnah, adalah :

1.Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibn Majah meriwayatkan: Buraidah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Hakim itu ada 3, 2 diantaranya akan masuk api neraka dan satu akan masuk surga. Seseorang yang mengetahui kebenaran dan menghakiminya dengan kebenaran itu ?dialah yang akan masuk surga, seseorang yang mengetahui kebenaran namun tidak memutuskan berdasarkan kebenaran itu, dia akan masuk neraka. Yang lain tidak mengetahui kebenaran dan memutuskan sesuatu dengan kebodohannya, dan dia akan masuk neraka”.

2.Ahmad dan Abu Daud mengisahkan: Ali ra. Berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Ali, jika 2 orang datang kepadamu untuk meminta keadilan bagi keduanya, janganlah kamu memutuskan sesuatu dari orang yang pertama hingga kamu mendengarkan perkataan dari orang kedua agar kamu tahu bagaimana cara memutuskannya (menghakiminya).”

3.Bukhori, Muslim dan Ahmad meriwayatkan Ummu Salamah berkata: “Dua laki-laki telah berselisih tentang warisan dan mengdatangi Rasulullah SAW, tanpa membawa bukti. Beliau saw bersabda: kalian berdua membawa perselisihan kalian kepadaku, sedang aku adalah seseorang yang seperti kalian dan salah seorang diantara kalian mungkin berbicara lebih fasih, sehingga aku mungkin menghakimi berdasarkan keinginannya. Dan jika aku menghukumnya dengan sesuatu yang bukan menjadi miliknya dan aku mengambilnya sebagai hak saudaranya maka ia tidak boleh mengambilnya karena apapun yang aku berikan padanya akan menjadi serpihan api neraka dalam perutnya dan dia akan datang dengan menundukkan lehernya dihari pembalasan. Kedua orang itu menangis dan salah satu dari mereka berkata, aku berikan bagianku pada saudaraku. Rasulullah SAW bersabda: “Pergilah kalian bersama-sama dan bagilah warisan itu diantara kalian dan dapatkan hak kalian berdua serta masing-masing dari kalian saling mengatakan, “Semoga Alloh mengampunimu dan mengikhlaskan apa yang dia ambil agar kalian berdua mengdapat pahala”.

4.Baihaqi, Darqutni dan Thabrani berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang diuji Alloh dengan membiarkannya menjadi seorang hakim, maka janganlah dia membiarkan satu pihak yang berselisih itu duduk didekatnya tanpa membawa pihak lainnya untuk duduk didekatnya. Dan dia harus takut pada Alloh atas persidangannya, pandangannya terhadap keduannya dan keputusannya pada keduanya. Dia harus berhati-hati agar tidak merendahkan yang satu seolah-olah yang lain lebih tinggi, dia harus berhati-hati untuk tidak menghardik yang satu dan tidak kepada yang lain dan diapun harus berhati-hati terhadap keduanya.”

5.Muslim, Abu Daud dan An Nasa’i berkata: Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah SAW mengadili manusia dengan sumpah dan para saksi.”

6.Imam Mawardi dalam etika Peradilan Vol.1.p.123, “Rasulullah SAW menunjuk hakim dalam Negara Islam, diantaranya adalah Imam Ali, Mu’adz bi Jabal dan Abu Musa Al Ash’ari”.

7.Muslim mengabarkan Abu Hurairah berkata: “Rasulullah SAW sedang melewati pasar dan beliau melihat seseorang sedang menjual makanan. Dia meletakkan tangannya diatas sepiring kurma dan ditemukan kurma-kurmanya basah dibagian bawahnya. Beliau bertanya, apa ini” Dia menjawab, hujan dari surga Ya Rasululloh. Rasulullah SAW bersabda, “Kamu harus meletakkannya diatas, barangsiapa mencuri timbangan bukan dari golongan kami”.

Semua hadist diatas secara jelas menyatakan kebenaran Pengadilan dan menjelaskan dari berbagai sudut pandang, dasar-dasar Sistem Peradilan dalam Negara Islam antara lain:

1.Hadist-hadist tersebut menyatakan bahwa seseorang termotivasi menjadi hakim dikarenakan pahala terhadap hakim tersebut.

2.Hadist-hadist diatas membuat takut terhadap orang-oarng yang ingin menjadi hakim apabila mereka tidak mampu.

3.Hadist-hadist diatas menunjukkan kepada kita sumber perselisihan dan sumber Peradilannya misalnya Rasulullah SAW mengatakan kepada Ali untuk tidak mengadili siapapun hingga ia mendengarkan pernyataan dari kedua belah pihak. Hal itu menunjukkan bahwa kita harus memiliki sebuah pengadilan dimana kedua pihak duduk bersama dan bahwa seorang hakim harus mendengarkan keduanya. Beliau menyatakan bahwa takutlah kepada Alloh pada saat engkau melihat mereka, berbicara pada mereka dan pada saat engkau menghukum mereka.

4.Hadist-hadist tersebut menunjukkan adanya dasar penunjukkan seorang wakil. Dikarenakan pernyataan, “Hati-hatilah terhadap mereka yang memiliki lidah yang fasih, sehingga ia boleh jadi menunjuk seseorang untuk berbicara atas namamu”.

5.Hadist-hadist tersebut juga membuktikan bahwa Rasulullah SAW mengambil sumpah-sumpah dan saksi-saksi, bahwa hal tersebut dapat digunakan pembuktian berbagai kasus.

6.Mereka (hadist-hadist itu) menyatakan macam-macam hakim, misalnya Qadhi Muhtasid yang menegakkan keadilan dan kebenaran yang terjadi dipasar.

7.Hadist-hadist diatas juga menyatakan kebenaran cara penunjukkkan para hakim seperti pernyataan Imam Mawardi, Imam Ali dan Mu’adz bin Jabal.

SISTEM PERADILAN ISLAM I
Fakta Tentang Sistem Peradilan

Dalam peradilan Hukum Islam, hanya ada satu hakim yangbertanggung jawab terhadap berbagai kasus pengadilan. Dia memiliki otoritas untuk menjatuhkan keputusan berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Keputusan-keputusan lain mungkin hanya bersifat menyarankan atau membantu jika diperlukan (yang dilakukan oleh hakim ketua).

Tidak ada sistem dewan juri dalam Islam. Nasib seorang tidak diserahkan kepada tindakan dan prasangka ke-12 orang yang bisa saja keliru karena bukan saksi dalam kasus tersebut dan bahkan mungkin pelaku kriminal itu sendiri!.Hukumanhukuman dalam Islam hanya bisa dilakukan apabila perbuatantersebut terbukti 100% secara pasti dan kondisi yang relevan dapatditemukan (misal ada 4 saksi untuk membuktikan perzinahan) jika masih adakeraguan tentang peristiwa-peristiwa tersebut maka seluruh kasus akan
dibuang.

Ada 3 macam hakim dalam Islam, yaitu:

1. Qodli ‘Aam: bertanggung jawab untuk menyelesaikan perselisihan ditengah-tengah masyarakat, misalnya masalah sehari-hari yang terjadi didarat, tabrakan mobil, kecelakaan-kecelakaan, dsb.

2. Qodli Muhtasib: bertanggung jawab menyelesaikan perselisihan yang timbul diantara ummat dan beberapa orang, yang menggangu masyarakat luas, misalnya berteriak dijalanan, mencuri di pasar, dsb.

3. Qodli Madzaalim: yang mengurusi permasalahan antara masyarakat dengan pejabat negara. Dia dapat memecat para penguasa atau pegawai pemerintah termasuk khalifah.

Khalifah kedua yaitu Umar Ibnu Al Khattab (Amir kaum muslimin antara tahun 634-644 M) adalah orang pertama yang membuat penjara dan rumah tahanan di Mekkah. Dibawah sistem peradilan (Islam), setiap orang, muslim atau non muslim, laki-laki atau perempuan, terdakwa dan orang yang dituduh memiliki hak menunjuk seorang wakil (proxy). Tidak ada perbedaan antara pengadilan perdata dengan kriminal seperti yang kita lihat sekarang di negeri-negeri Islam seperti di Pakistan dimana sebagian hokum Islam dan sebagian hokum kufur keduanya diterapkan. Negara Islam hanya akan menggunakan sumber-sumber hukum Islam yakni, Al-Qur`an dan As-Sunnah (dan segala sesuatu yang berasal dari keduanya) sebagai rujukannya. Hukuman-hukuman Islami akan dilaksanakan tanpa penundaan dan keraguan.

Tidak seorangpun akan di hukum kecuali oleh peraturan pengadilan. Selain itu, sarana (alat-alat) penyiksaan tidak diperbolehkan.Dibawah sistem Islam, seseorang yang dirugikan dalam suatu kejahatan mempunyai hak untuk memaafkan terdakwa atau menuntut ganti rugi (misal qishas) untuk suatu tindak kejahatan. Khusus untuk hukum hudud, merupakan hak Allah.Hukum potong tangan dalam Islam hanya akan diterapkan
apabila memenuhi 7 persyaratan, yaitu:


1.Ada saksi (yang tidak kontradiksi atau salah dalam kesaksiannya)
2.Nilai barang yang dicuri harus mencapai 0,25 dinar atau senilai 4,25 gr emas.
3.Bukan berupa makanan (jika pencuri itu lapar)
4.Barang yang dicuri tidak berasal dari keluarga pencuri tersebut.
5.Barangnya halal secara alami (misal: bukan alkohol)
6.Dipastikan dicuri dari tempat yang aman (terkunci)
7.Tidak diragukan dari segi barangnya (artinya pencuri tersebut tidak berhak mengambil misalnya uang dari harta milik umum).

Di sepanjang 1300 tahun aturan Islam diterapkan, hanya ada sekitar 200 orang yang tangannya dipotong karena mencuri namun kejadin-kejadian pencurian sangat jarang terjadi. Setiap orang berhak menempatkan pemimpinnya di pengadilan,
berbicara mengkritiknya jika pengadilan telah melakukan sejumlah pelanggaran terhadapnya. Sebagaimana ketika seorang wanita pada masa khalifah Umar Ibnu Al Khattab mengoreksi kesalahan yang dilakukan Umar tentang nilai
mahar .

Kehormatan seorang warga negara dipercayakan kepada Majlis Ummah. Hukuman atas tuduhan kepada muslim lain yang belum tentu berdosa dengan tanpa menghadirkan 4 orang saksi yang memperkuat pernyataan tersebut adalah berupa 80 kali cambukan.

Ada 4 kategori hukuman dalam sistem peradilan Islam, yaitu:

1)Hudud. Hak Allah SWT, seperti perbuatan zina (100 cambukan), murtad (hukuman mati).
2)Al Jinayat. Hak individu, dia boleh memaafkan tindak kejahatan seperti pembunuhan, kejahatan fisik.
3)At Ta’zir. Hak masyarakat, perkara-perkara yang mempengaruhi kehidupan masyarakat umum sehari-hari seperti pengotoran lingkungan, mencuri di pasar.
4)Al-Mukhalafat. Hak negara, perkara-perkara yang mempengaruhi kelancaran tugas negara misal melanggar batas kecepatan.

SISTEM PERADILAN DALAM ISLAM II


Manusia terbatas pengetahuannya dan bisa berbuat keliru. Mereka cenderung salah dan penuh prasangka. Islam tidak menyerahkan penentuan undang-undang keadilan kepada kehendak dan selera manusia sebagaimana yang terjadi di Barat. Akan tetapi, yang berwenang membuat hukum hanyalah Allah SWT, Pencipta manusia dan Yang Maha Mengetahui tentang diri manusia. Siapakah yang lebih berhak melakukan hal ini? Allah SWT berfirman: “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (QS. 6 : 57).

Sesungguhnya menetapkan hukum adalah hak Allah. Maka anda tinggal meyakini bahwa dalam pengadilan Islam, faktor-faktor seperti hakim berteman dengan terdakwa atau, mengalami hari-hari yang tidak menyenangkan, tidak ada hubungannya dengan kerasnya hukuman yang akan dilaksanakan. Bila anda korban kejahatan dan anda miskin sedangkan lawan anda kaya, tidak akan berpengaruh apapun terhadap keputusan pengadilan. Bila anda diijinkan untuk menunjuk seorang wakil yang akan berbicara atas nama anda, tidak perlu ada sejumlah uang yang dipertaruhkan. Tujuan pengadilan semata-mata untuk menegakkan keadilan, bukan menghasilkan uang. Karena itu tidak perduli siapa yang mengusut kasus anda, atau betapapun pandainya dia bicara, semua diserahkan kepada hakim untuk memastikan fakta-fakta dan mengevaluasinya.


Dalam Islam, bukti kesalahan tertentu sudah cukup untuk menjatuhkan vonis. Karena itu, tidak ada konsep juri, yang anggota-anggotanya mungkin tidak sepakat terhadap suatu keputusan, dengan semata-mata mendasarkan kepada kebijakan
meraka pribadi. Bukti-bukti tidak langsung yang tidak meyakinkan dan mengarah kepada penafsiran yang berbeda-beda tidaklah cukup. Seluruh bukti harus diberikan kepada seorang hakim yang ahli di bidang hukum dan dia menjatuhkan hukuman sesuai dengan hukum-hukum Islam. Sehingga hanya yang terbukti melakukan tindak kriminal saja yang dihukum. Para pelaku kriminal mungkin saja tidak mendapat putusan yang pasti tapi mereka tidak akan bisa menghindar dari hukuman di Hari Pembalasan. Dengan merujuk pada kedua kerangka sistem Peradilan diatas, marilah kita bandingkan cara mengatasi tindak-tindak kriminal pada umumnya yang kita sangat mengkhawatirkannya.

1.Perampokan: anda mungkin pernah mengalami atau mengetahui orang yang mengalami hal ini.

Sistem hukum Inggris: hukuman bersifat bebas, artinya tergantung dari kriminalnya, tapi biasanya dihukum oleh hukum mayoritas.

Sistem Peradilan Islam: bila kesalahannya pasti, hakim akan mempertimbangkan sebab-sebab kejahatan tersebut dan berijtihad (menggali hukum dari Al-Qur`an dan As-Sunnah). Bagaimanapun hal ini merupakan kejahatan publik terhadap kematian seandainya perampokan tersebut mengarah kepada kematian.

2.Pencurian: pencurian sangant umum terjadi di Inggris. Anda pasti takut rumah anda akan dibobol bila bepergian dalam jangka waktu yang cukup lama.

Sistem hukum Inggris: putusan hukuman bersifat bebas (tidak mengikat) tergantung jenis kriminalnya, tapi biasanya dihukum penjara.

Sistem Peradilan Islam: pencuri akan dipotong tangannya apabila telah memenuhi 7 persyaratan dari hukuman ini. Mereka tidak diperkenankan melaksanakan (pemotongan tangan tersebut) dengan operasi.

3.Pemerkosaan: pemerkosaan di Inggris rata-rata terjadi tiap 2,5 jam. Banyak yang tidak terekam dan pada umumnya pelaku dikenal oleh korban.

Sistem hukum Inggris : hukumannya bersifat tidak mengikat, tetapi hukumannya beragam. Dari mulai denda hingga hukuman penjara seumur hidup.

Sistem peradilan Islam: hukuman mati

4.Penyalahgunaan narkoba: ini sangat umum terjadi disemua kalangan, khususnya remaja. Biasanya hal ini dianggap sebagai kebiasaan yang tidak berbahaya. Anda mungkin khawatir terhadap anak kecil atau kerabat. Tapi jika tidak, anda seharusnya khawatir

Sistem hukum Inggris: hukuman tergantung dari sifat obatnya dan jumlah yang dimiliki. Karena alkohol sah di Inggris, untuk obat-obat yang tergolong ringan seperti marijuana, para pelanggarnya biasanya hanya diperingatkan, tapi pemakai obat-obat yang tegolong berat (seperti kokain, heroin) mungkin dipenjara.

Sistem peradilan Islam: para pelanggar di dera 80 kali cambukan di depan umum.

5.Zina: sehubungan dengan tekanan masyarakat untuk memberikan ruang terhadap kebebasan berhubungan dan kebebasan seksual, anda berhak khawatir terhadap perilaku remaja ataupun orang dewasa yang terpengaruh oleh hal tersebut.

Sistem hukum Inggris: kedua kebebasan diatas adalah sah, baik dilakukan antara lawan jenis ataupun sejenis (yaitu homosex). Bahkan bila anda mengkritik hal ini, anda akan dituduh tidak toleran dan diskriminatif.

Sistem peradilan Islam: perbuatan zina (bagi yang masih lajang) diganjar dengan 100 kali cambukan. Sedang zina bagi orang dewasa/menikah) dan zina homosex keduanya dihukum mati ditempat umum.

Tujuan dibalik pelaksanaan peradilan dalam Islam adalah bertindak sebagai pencegah, untuk merubah sikap para pelanggar dan untuk menyelamatkan masyarakat. Sebagaimana diketahui, sifat dari hukuman-hukuman tersebut dalam
sistem Peradilan Islam memastikan bahwa tujuan-tujuan tersebut tercapai. Sejarah telah memberi kesaksian akan hal ini dimana hanya sekitar 200 orang tercatat yang dipotong tangannya dari keseluruhan sejarah Negara Islam. Tetapi di Barat, 70% narapidana kembali melakukan kesalahan sesaat setelah dibebasklan, dan angka kejahatan tidak menunjukkan sebuah pencegahan yang berhasil. Salah satu problem mendasar yang ada di Barat adalah komplitnya pertentangan idiologi yang disandarkan kepada kehendak masyarakat. Di satu sisi, dinyatakan bahwa kebebasan adalah hak asasi individu. Dan hal inilah yang membuka peluang terhadap tindak kejahatan. Bila hal ini dihubungkan dengan konsep demokrasi, kontradiksi akan muncul sebab demokrasi adalah sebuah sistem untuk membuat
undang-undang sebagai alat untuk membatasi kebebasan. Dan hasil dari konsep “amburadul” ini adalah kekacauan!.

Sementara, keadilan yang dijalankan oleh sistem Peradilan Islam akan menentramkan jiwa anda, aman dan yakin bahwa hak-hak anda tidak akan disalahgunakan. Setelah mempertimbangkanadanya ketakwaan personal dan opini umum, tingkat peraturan terakhir adalah Sistem Peradilan Islam menjamin bahwa dunia akan terbebas dari eksploitasi dan korupsi hukum buatan manusia dan juga tindak kriminal yang menyertainya.

Wallahu'alam bis showab!
Surah Yaasiin 62
62. Sesungguhnya syaitan itu telah menyesatkan sebahagian besar diantaramu, Maka Apakah kamu tidak memikirkan ?.

Surah Yaasiin 69
69. dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan.













ADAKAH PERADILAN BANDING DAN KASASI DALAM ISLAM?

Ditulis oleh Farid Ma'ruf di/pada Januari 18, 2007

Soal:

Apakah di dalam sistem peradilan Islam dikenal peradilan banding dan peradilan kasasi? Kapan keputusan seorang qâdhî (hakim) dipandang menjadi keputusan yang bersifat tetap?

Jawab:

Di dalam sistem peradilan sekular dikenal peradilan banding dan kasasi. Bahkan, sebelum disidangkan oleh peradilan, seorang terdakwa dapat meminta sidang pra-peradilan untuk membuktikan sah tidaknya penahanan dirinya sebagai terdakwa. Mekanisme hukum semacam ini berujung pada simpang-siurnya keputusan hukum; ‘kepastian hukum’ yang didambakan masyarakat pun semakin lama diperoleh karena harus melalui rantai peradilan yang sangat panjang. Fenomena ini dengan cepat disergap oleh para pelaku mafia peradilan—entah para jaksa, hakim, maupun pengacara—yang menjadikannya sebagai ‘bisnis basah’.

Jika seseorang dinyatakan bersalah di tingkat peradilan biasa dan di tingkat banding, belum tentu keputusan atas dirinya itu sudah baku. Di tingkat kasasi ia bisa bebas. Keputusan di tingkat kasasi ini secara otomatis menggugurkan keputusan-keputusan peradilan di tingkat bawahnya. Wajar jika sistem hukum sekular melahirkan ketidakpastian hukum, pertentangan/ perselisihan, serta bertumpuknya dan bertele-telenya berkas-berkas perkara peradilan.

Ini berbeda dengan peradilan Islam. Di dalam sistem peradilan Islam tidak dikenal istilah pra-peradilan, peradilan banding, maupun kasasi. Sistem peradilan Islam hanya satu. Keputusan seorang qâdhî (hakim) pada suatu perkara bersifat tetap. Keputusannya tidak dapat diganggu-gugat dan tidak dapat dibatalkan, meski oleh khalifah (kepala negara) sekalipun.

Peradilan Islam adalah institusi yang bertugas untuk menyampaikan keputusan hukum dan keputusannya bersifat mengikat. Perlu diketahui, bahwa setiap keputusan hukum (yang ditetapkan oleh qâdhî) di dalam ruang sidang peradilan merupakan hukum Allah atas perkara tersebut bagi si terdakwa. Hukum Allah bagi dirinya—dilihat dari sisi pelaksanaannya—tidaklah berbilang, tetapi hanya satu. Memang, bisa saja pemahaman seorang qâdhî dengan qâdhî lainnya atas suatu perkara berbeda sehingga memungkinkan dihasilkannya keputusan atau pendapat yang berbeda pula. Namun demikian, dalam hal ini, harus dibedakan antara memahami suatu perkara dan melaksanakan keputusan peradilan atas perkara tersebut.

Penetapan hukum di dalam sidang peradilan Islam (selain perkara hudûd) dilakukan melalui metode istinbâth (ijtihad) dengan memahami fakta atas suatu perkara secermat-cermatnya. Seorang qâdhî bisa saja berbeda dalam memahami suatu fakta dengan qâdhî lainnya sehingga hasil ijtihad masing-masing juga berbeda. Meskipun demikian, syariat Islam menjamin bahwa walaupun terdapat pemahaman yang berbeda pada masing-masing qâdhî (selama bukan dalam perkara hudûd), keputusan apapun yang ditetapkan oleh mereka di ruang sidang peradilan tidak akan meruntuhkan sistem hukum maupun menzalimi manusia. Bahkan, jika seorang qâdhî menghasilkan ijtihad yang tidak tepat, Allah Swt. tetap mengganjarnya dengan satu pahala. Rasulullah saw. bersabda:



»إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ«

Apabila seorang hakim (qâdhî) berijtihad lalu ijtihadnya benar maka ia beroleh dua pahala; jika ia berijtihad lalu ijtihadnya salah maka ia beroleh satu pahala. (HR al-Bukhari dan Muslim).



Lain lagi dari sisi pelaksanaan hukum. Memang, bisa saja qâdhî A menghasilkan ijtihad yang berbeda dengan ijtihad qâdhî B pada perkara yang sama. Akan tetapi, harus dipahami, bahwa perkara tersebut menuntut penetapan hukum berupa hukum Allah Swt. yang dikeluarkan oleh qâdhî melalui ijtihadnya, sementara hukum Allah Swt. dalam perkara tersebut atas terdakwa si fulan—misalnya—hanya satu (yang harus dijalankannya). Sebagai contoh (dalam perkara lain yang semisal) adalah perkara qunût di dalam shalat. Terdapat dua pemahaman (sebagai hasil dari ijtihad para mujtahid) yang memberikan alternatif dua pilihan pemahaman. Dua pendapat tersebut adalah sah. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, tidak mungkin seorang Muslim menjalankan kedua pendapat tersebut dengan—misalnya—melakukan shalat subuh dua kali; sekali menggunakan qunût dan sekali lagi tidak. Tindakannya ini malah menyalahi hukum. Sebab, hukum Allah Swt. atasnya (dari sisi pelaksanaannya) hanya satu. Begitu pula halnya di dalam keputusan peradilan yang ditetapkan qâdhî.

Di samping itu, beberapa perkara yang termasuk perkara hudûd seperti minum khamar, perzinaan, pencurian, tuduhan zina (qadzaf), pembegalan disertai pembunuhan atau pencurian atau perusakan (hirâbah), pembangkangan terhadap negara (bughât), dan murtad adalah perkara yang putusan hukumnya telah jelas dan pasti (qath‘î) berasal dari Allah Swt. dan Rasul-Nya. Di dalamnya tidak diperkenankan adanya ijtihad seorang qâdhî, apalagi pembatalan hukuman. ‘Umar bin al-Khaththab berkata, “Tidak ada ampunan (pembatalan hukum) dalam perkara had atas tindak kejahatan yang telah diajukan ke peradilan. Sebab, pelaksanaan hukuman had bersumber dari Sunnah.” (Ibn Hazm, al-Muhallâ, jld. XIII/287). Hal ini tentu tidak berlaku di dalam sistem hukum dan peradilan sekular.

Berdasarkan pemaparan di atas, akan tampak jelas bahwa di dalam sistem peradilan Islam, meskipun ruang sidang peradilan dipimpin oleh seorang qâdhî dan didampingi qâdhî lain sebagai anggota (hal ini dibolehkan sebatas memberikan usulan kepada qâdhî ketua), keputusan tetap berada di tangan qâdhî ketua berdasarkan ijtihadnya. Hasil ijtihadnya yang berupa keputusan peradilan merupakan hukum syariat atas si terdakwa di dalam perkara tersebut dan bersifat mengikat (yaitu harus dilaksanakan). Dalam hal ini, terdapat kaidah ushul yang terkenal:



]اَلإِجْتِهَادُ لاَ يُنْقَضُ بِمِثْلِهِ[

Ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad lain yang serupa.



Oleh karena itu, dalam peradilan Islam tidak dikenal adanya voting untuk menentukan keputusan hukum di antara para hakim (karena munculnya perbedaan pendapat antara hakim ketua dan para hakim anggota) sebagaimana yang terjadi pada berbagai kasus dalam sistem peradilan sekular. Islam juga tidak mengenal peradilan banding maupun kasasi.

Keputusan qâdhî tidak berlaku dan dinyatakan tidak sah jika tidak merujuk dan berlandaskan pada al-Quran dan as-Sunnah. Artinya, Khalifah atau institusi peradilan dapat membatalkan keputusan atas suatu perkara yang tidak merujuk kepada al-Quran dan as-Sunnah. Rasulullah saw. bersabda:



»مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ«

Siapa saja yang melakukan aktivitas (termasuk keputusan peradilan-pen.) yang tidak aku perintahkan, maka perkara tersebut tertolak. (HR al-Bukhari dan Muslim).



Dengan demikian, seluruh sistem peradilan sekular—mulai dari mekanisme, sistem peradilan, hingga keputusan yang dihasilkan di dalamnya—adalah batil, tertolak dan tidak sah. Allah Swt. dan Rasul-Nya mengharamkan kaum Muslim untuk merujuk dan bersandar pada sistem hukum kufur atau hukum thaghut. Lebih dari itu, Allah Swt. telah mencap orang-orang yang ridha dan menganggap sistem peradilan sekular sebagai sistem yang layak dan cocok untuk kaum Muslim saat ini seraya mencampakkan sistem hukum Islam sebagai orang-orang yang kafir. Allah Swt. berfirman:



]وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ[

Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara (peradilan) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS al-Maidah [5]: 44).





Sistem Persanksian Islam (Telaah Kitab Nizhâm al-’Uqûbât fî al-Islâm) Sep 10, '07 5:38 PM
for everyone
Category: Books
Genre: Religion & Spirituality
Author: Dr. Abdurrahman al-Maliky
Pengantar

Kitab Nizhâm al-’Uqûbât karya Dr. Abdurrahman al-Maliki termasuk kitab non-mutabannat yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir dan tidak diajarkan di dalam halaqah-halaqah intensif. Namun, para syabab Hizb dianjurkan membaca dan memahami kitab ini. Anjuran ini bisa dimengerti karena kitab tersebut merupakan salah satu seri kitab yang menjelaskan bagian terpenting dari sistem peradilan Islam, yakni sistem sistem persanksian.

No comments:

Post a Comment